Minggu, 20 Januari 2013

Sejarah Singkat Kompilasi Hukum Islam

-->
Secara yuridis formal keberadaan negara Indonesia adalah Diawali pada suatu Proklamasi Kemerdekaan-nya, yaitu tanggal 17 Agustsu 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui sebagai berlakunya UUD 1945. Betapapun juga, berbicara Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari eksistensi negara Indonesia itu sendiri.
Keinginan para pemimpin Islam untuk dapat kembali menjalankan hukum Islam bagi umat Islam – setelah dikebiri melalui teori Receptie – telah dimulai sejak perumusan dasar negara pada saat BPUPKI bersidang. Disahkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang  kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada Sila Pertama, yaitu Ketuhanan Yang  Maha Esa. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu membicarakan Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa tidak, terkait dengan sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Lembaga inilah yang  secara formal merupakan wujud wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam, sebagai kelanjutan pengadilan serambi atau pengadilan masjid di masa-masa kesultanan dahulu. Karena hukum materiil yang  menjadi kompetensi absolutnya adalah hukum Islam.
Setelah perumusan   UUD 1945, langkah yang  ditempuh pemerintah adalah menyerahkan pembinaan peradilan agama dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946. pada tahun 1948 dikeluarkanlah UU No 19 Tahun 1948 yang  memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum. Karena muatan undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, undang-undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku.
Mulai tahun 1958 dibentuklah di berbagai tempat Pengadilan Agama di Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian pada tahun 1970 dikeluarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang  pada intinya Peradilan Agama merupakan bagian integral dari kekuasaan kehakiman yang  mandiri, tanpa ada intervensi pihak manapun.
Sebagai realisasi dari ketentuan di atas, pada tahun 1974 dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan di Indonesia, berlaku bagi semua warga negara. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang ini mengandung keragaman hukum, jelas ia merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara yuridis telah memiliki landasan yang  kokoh.
Namun demikian, ada tuntutan merealisasikan perundang-undangan yang  dapat mewadahi kemajemukan masyarakat dan sekaligus menampung kesadaran hukum masyarakat, mutlak perlu segera diwujudkan. Sebelum kelahiran UU Perkawinan, pemerintah sebenarnya telah mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Usaha ini kemudian membutuhkan waktu yang  cukup lama, 17 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dapat diajukan ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Dengan amanat Presiden RI No. R-06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988 pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke DPR.
Upaya mewujudkan UU Peradilan Agama ini tentulah bukan saja dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan UU No. 14 Tahun 1970. Hal ini diharapkan akan mampu mengemban tugasnya dengan penuh kewibawaan dan bersama badan-badan peradilan lainnya merupakan wahana para pencari keadilan di Indonesia.
Kehadiran UU Peradilan Agama tersebut, patut disyukuri, paling tidak dengan adanya undang-undang ini Peradilan Agama telah sejajar dengan peradilan yang  lain, tidak ada lagi pengawasan atau campur tangan dari peradilan lain. Keputusan hukum yang  dikeluarkan tidak lagi membutuhkan pengukuhan dari peradilan umum.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan Agama yang  mana kompetensi absolut peradilan ini telah disebut dalam Pasal 49, namun masih sangat global. Untuk itu perlu adanya kodifikasi dan unifikasi hukum yang  memadai, agar amanat yang  dibebankan pasal 49 tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, demi terwujudnya keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum masyarakat. RUU Peradilan Agama telah disiapkan sejak tahun 1970, berbarengan dengan itu disiapkan pula penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara resmi proses awal rencana ini adalah Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25/1985 tanggal 21 Maret 1985.
Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini dilaksanakan, yaitu, Pertama, bahwa  sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dua, guna mencapai maksud tersebut demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas dan tertib administrasi dalam proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang  susunannya terdiri dari para Pejabat MA dan Depag RI.
Adapun tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah untuk menyiapkan pedoman yang  seragam (unikatif) bagi Hukum Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang  wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang  beragama Islam.
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang  dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang (a) adanya norma hukum yang  hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi sosial, (b) aktualnya dimensi normatif akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran Islam yang  mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum, (c) responsi struktural yang  dini melahirkan rangsangan KHI, (d) alim ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum Islam yang  hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.
Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi di atas yang  berpengaruh kuat pada seleksi pengambilan sumber normatifnya. Lima sumber utama yang  dipilih untuk penyusunan KHI yakni : (a) hukum produk legislatif nasional yang  telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya yang  relevan, seperti UU No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975, dsb., (b) produk yudisial pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, terutama sepanjang yang  mengenai masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir hukum, mengantisipasi tuntutan di tengah hubungan konflik hukum Islam dengan hukum adat, (c) produk eksplanasi fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang  dilakukan IAIN dengan pokok bahasan sesuai dengan distribusinya, (d) rekaman pendapat para ahli hukum Indonesia di beberapa daerah wilayah Indonesia, (e) hasil studi perbandingan di Maroko, Turki, dan Mesir, dan (f) pendapat serta pandangan yang  hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama ins yang  diadakan pada tanggal 2-6 Februari 1989 di Jakarta dengan peserta dari seluruh Indonesia.
Lahirnya rumusan hukum seperti yang  terlihat di dalam KHI harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi organisme hukum Islam di bidangnya. Diharapkan nantinya KHI mampu memback up fenomena masyarakat yang  terkait dengan masalah hukum, disamping itu KHI mampu memberikan jaminan keadilan, ketertiban sekaligus kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang  memeluk agama.

Bagikan