Secara yuridis formal keberadaan negara Indonesia adalah Diawali pada suatu
Proklamasi Kemerdekaan-nya, yaitu tanggal 17 Agustsu 1945. Pada tanggal 18
Agustus 1945 kemudian diakui sebagai berlakunya UUD 1945. Betapapun juga,
berbicara Hukum Islam di Indonesia, tidak bisa terlepas dari eksistensi negara Indonesia itu
sendiri.
Keinginan para pemimpin Islam untuk dapat kembali menjalankan hukum
Islam bagi umat Islam – setelah dikebiri melalui teori Receptie – telah
dimulai sejak perumusan dasar negara pada saat BPUPKI bersidang. Disahkannya
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang
kemudian disepakati direvisi menjadi rumusan final pada Sila Pertama,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian
dijabarkan dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD 1945. Selain itu membicarakan Hukum
Islam di Indonesia, tidak bisa tidak, terkait dengan sejarah Peradilan Agama di
Indonesia. Lembaga inilah yang secara
formal merupakan wujud wadah penyelesaian atau pelaksanaan hukum Islam, sebagai
kelanjutan pengadilan serambi atau pengadilan masjid di masa-masa kesultanan
dahulu. Karena hukum materiil yang
menjadi kompetensi absolutnya adalah hukum Islam.
Setelah perumusan UUD 1945,
langkah yang ditempuh pemerintah adalah
menyerahkan pembinaan peradilan agama dari Kementrian Kehakiman kepada
Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/SD/1946. pada tahun 1948
dikeluarkanlah UU No 19 Tahun 1948 yang
memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan Umum. Karena muatan
undang-undang ini tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia ,
undang-undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku.
Mulai tahun 1958 dibentuklah di berbagai tempat Pengadilan Agama di
Pengadilan Tinggi Agama. Kemudian pada tahun 1970 dikeluarkan UU No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang pada intinya Peradilan Agama merupakan bagian
integral dari kekuasaan kehakiman yang
mandiri, tanpa ada intervensi pihak manapun.
Sebagai realisasi dari ketentuan di atas, pada tahun 1974
dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini merupakan
kodifikasi dan unifikasi Hukum Perkawinan di Indonesia, berlaku bagi semua
warga negara. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang ini mengandung
keragaman hukum, jelas ia merupakan tonggak awal bahwa hukum Islam secara
yuridis telah memiliki landasan yang
kokoh.
Namun demikian, ada tuntutan merealisasikan perundang-undangan
yang dapat mewadahi kemajemukan
masyarakat dan sekaligus menampung kesadaran hukum masyarakat, mutlak perlu
segera diwujudkan. Sebelum kelahiran UU Perkawinan, pemerintah sebenarnya telah
mencoba menindaklanjuti pesan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Usaha ini
kemudian membutuhkan waktu yang cukup
lama, 17 tahun, akhirnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dapat diajukan
ke DPR untuk memperoleh persetujuan. Dengan amanat Presiden RI No. R-06/PU/XII/1988
tanggal 3 Desember 1988 pemerintah menyampaikan RUU tentang Peradilan Agama ke
DPR.
Upaya mewujudkan UU Peradilan Agama ini tentulah bukan saja
dimaksudkan semata-mata untuk memenuhi ketentuan UU No. 14 Tahun 1970. Hal ini
diharapkan akan mampu mengemban tugasnya dengan penuh kewibawaan dan bersama
badan-badan peradilan lainnya merupakan wahana para pencari keadilan di
Indonesia.
Kehadiran UU Peradilan Agama tersebut, patut disyukuri, paling tidak
dengan adanya undang-undang ini Peradilan Agama telah sejajar dengan peradilan
yang lain, tidak ada lagi pengawasan
atau campur tangan dari peradilan lain. Keputusan hukum yang dikeluarkan tidak lagi membutuhkan pengukuhan
dari peradilan umum.
Meskipun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Peradilan
Agama yang mana kompetensi absolut
peradilan ini telah disebut dalam Pasal 49, namun masih sangat global. Untuk
itu perlu adanya kodifikasi dan unifikasi hukum yang memadai, agar amanat yang dibebankan pasal 49 tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik, demi terwujudnya keadilan, ketertiban sekaligus
kesadaran hukum masyarakat. RUU Peradilan Agama telah disiapkan sejak tahun
1970, berbarengan dengan itu disiapkan pula penyusunan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Secara resmi proses awal rencana ini adalah Penunjukan Pelaksanaan
Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25/1985
tanggal 21 Maret 1985.
Adapun tujuan perumusan KHI di Indonesia adalah untuk menyiapkan
pedoman yang seragam (unikatif) bagi
Hukum Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia
yang beragama Islam.
Dari sudut lingkup makna the ideal law, kehadiran Kompilasi
Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat mengungkapkan ragam makna kehidupan
masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang (a) adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur
interaksi sosial, (b) aktualnya dimensi normatif akibat terjadinya eksplanasi
fungsional ajaran Islam yang mendorong
terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum, (c) responsi struktural yang dini melahirkan rangsangan KHI, (d) alim
ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal di atas dengan kesepakatan bahwa KHI
adalah rumusan tertulis hukum Islam yang
hidup seiring dengan kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.
Kehadiran KHI cenderung menjadi alternatif terhadap konstatasi di
atas yang berpengaruh kuat pada seleksi
pengambilan sumber normatifnya. Lima sumber utama yang dipilih untuk penyusunan KHI yakni : (a)
hukum produk legislatif nasional yang
telah tertuang dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya yang relevan, seperti UU No. 1 Tahun 1974, PP No.
9 Tahun 1975, dsb., (b) produk yudisial pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama, terutama sepanjang yang mengenai
masalah waris dengan dukungan pengalaman tafsir hukum, mengantisipasi tuntutan
di tengah hubungan konflik hukum Islam dengan hukum adat, (c) produk eksplanasi
fungsionalisasi ajaran Islam melalui kajian hukum yang dilakukan IAIN dengan pokok bahasan sesuai
dengan distribusinya, (d) rekaman pendapat para ahli hukum Indonesia di
beberapa daerah wilayah Indonesia, (e) hasil studi perbandingan di Maroko,
Turki, dan Mesir, dan (f) pendapat serta pandangan yang hidup pada saat Musyawarah Alim Ulama ins
yang diadakan pada tanggal 2-6 Februari
1989 di Jakarta dengan peserta dari seluruh Indonesia.
Lahirnya rumusan hukum seperti yang
terlihat di dalam KHI harus dipandang sebagai sebuah wajah kulminasi
organisme hukum Islam di bidangnya. Diharapkan nantinya KHI mampu memback up
fenomena masyarakat yang terkait dengan
masalah hukum, disamping itu KHI mampu memberikan jaminan keadilan, ketertiban
sekaligus kesadaran hukum bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang memeluk agama.