Minggu, 20 Januari 2013

Metode Istimbath Hukum Imam Syafi'i

Dasar-dasar Mazhab Imam Syafi'i yang telah tertulis dalam kitabnya al-Risalah yang kesimpulannya sebagai berikut: Al-Quran, Hadits Nabi, Ijma', Qiyas, Istidlal. [1]
Lebih lanjut Imam Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i mendasarkan madzhabnya seperti dijelaskan pada kitab Al-Umm, dalam istinbath hukum beliau mempergunakan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sepanjang tidak ditemukan pada dua sumber hukum tersebut, dalam memutuskan suatu kasus (hukum) dengan menggunakan qiyas. Menurutnya ijma’ dipandang lebih kuat dari hadis ahad. Terhadap suatu hadis, dia menerima makna lahirnya saja. Jikalau ada beberapa hadis yang bermakna ganda, beliau mengambil makna dhahirnya saja.
Mohammad Muslehuddin menyatakan Syafi’i kelihatannya membentuk teori praktek yang diikuti oleh para khalifah empat dan memang, itulah tata cara yang benar. Jika tidak demikian, kesatuan hukum dan akhirnya kesatuan masyarakat akan terganggu seandainya analogi dibiarkan bergantung pada penggunaan akal pikiran secara bebas. Pada prinsipnya, Syafi’i hanya mengakui qiyas yang sempurna, tetapi beliau tidak menolak qiyas yang logis (ta’wil), yang didasarkan pada petunjuk yang jelas dari nash (Al-Qur'an atau sunnah) sendiri atau dari konteksnya.[2]
Lebih lanjut Imam Syafi’i mempunyai pendapat tentang setiap hadis yang diriwayatkan sampai kepada Nabi oleh orang-orang yang terpercaya, hanya dapat ditolak jika ia bertentangan dengan hadis lain yang juga diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya. [3]
Pandangan Imam Syafi’i tentang ijma’ (konsensus), ia tidak mendefinisikannya sebagai kesepakatan antara para ahli hukum di suatu daerah atau kota, tetapi ia memperluas pengertiannya menjadi kesepakatan seluruh masyarakat., dan ini mungkin untuk tujuan untuk mencapai keseragaman hukum. Adapun menyangkut qiyas (analogi), beliau membatasi penggunaannya hanya terdapat masalah-masalah cabang (furu’).[4]
Imam Syafi'i yang telah menciptakan produk madzhab yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Dimana qaul qadim adalah hasil ijtihad yang diajarkan kepada murid-muridnya ketika berada di Irak. Sedangkan qaul jadid, adalah hasil ijtihad yang beliau tetapkan ketika berada di Mesir. [5]
Hamdani Yusuf menjelaskan dasar-dasar istinbath hukum yang dipergunakan oleh mazhab Syafi’i menurut adalah sebagai berikut [6]:
1.      Al-Qur'an
Madzhab ini mengambil makna yang dhahir (lahir), kecuali bila ada alasan mengambil arti yang lain (untuk yang terakhir ini jarang sekali dilakukan).
2.      As-Sunnah
Dalam hal pengambilan hadis, tidak hanya mengambil hadis mutawatir saja, namun hadist Ahad juga diambil/dipakai sebagai dalil. Diantara pengikut Syafi’i (yang tergabung dalam golongan salaf) menggunakan hadis dha’if sebagai referensi untuk fadhailul a’mal (fadhilah amal).
Dengan ketegasannya Imam Syafi’i menjelaskan dalam sebuah ungkapan statement sebagai berikut :
أِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُو مَذْهَبِىْ

[7]
“Bilamana telah sah suatu hadis, maka itulah mazhabku”.

3.      Ijma’
Menurut madzhab ini ijma’ dari sahabat, dan bilamana ada seorang yang menyalahinya belum diartikan sebagai ijma’. Juga tidak sembarang ijma’ bisa dijadikan sebagai pijakan/dasar hukum.

4.      Pendapat Sebagian Sahabat  
Madzhab ini mengakui pendapat sebagian sahabat sebagai dasar pengambilan hukum, akan tetapi tidak semua pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Jikalau ada sahabat lain yang menentang, maka pendapat sahabat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
5.      Pendapat Seorang Sahabat 
Pendapat seorang sahabat, tetapi ada sahabat lain yang tidak menyetujuinya, dalam hal ini madzhab ini mengambil pendapat yang paling dekat dengan Al-Qur'an dan Sunnah atau pendapat yang dikuatkan dengan qiyas.
6.      Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya
7.      Istidlal
Yakni mencari dalil yang tidak ada pada nash Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada pada ijma’ maupun pada qiyas. Definisi diatas menunjukkan bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan suatu keputusan hukum, hendaklah mendahululan Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Jika mujtahid tersebut tidak menemukan keempat sumber hukum tersebut barulah beralih ke istidlal (mencari dalil lain).
8.      Fatwa shahabi
Berkenaan dengan fatwa sahabat, sebagian golongan Syafi’iyah menggunakannya sebagai dasar hukum. Fatwa sahabi adalah fatwa atau pendapat sahabat Nabi Saw. dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa sahabat tersebut. Dalam hal ini, permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak.
9.      Istishab
Ulama Syafi’iyah mengamalkan istishab dalam metode pengambilan hukum. [8] Istishab adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan status hukum yang berlaku sebelumnya, selama tidak ada hukum yang merubahnya. Contoh istishab adalah seorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudlu atau belum, dalam hal ini ia harus berpedoman pada hukum asal, yaitu “belum berwudlu”. Lalu apabila seseorang yang sudah berwudlu kemudian ragu-ragu apakah batal atau tidak, maka ia hendaklah berpedoman pada hukum yang awal yaitu “ada wudlu” (masih punya wudlu).


[1] Imam Syafi’i, Ar-Risalah (terj), (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1999), hal.   
[2] Mohammad Muslehuddin, Op. Cit.,  hal. 29.
[3] Ibid., hal. 30.
[4] Ibid., hal. 31.
[5]T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hal. 122.
[6] M. Hamdani Yusuf, Op. Cit., hal 170.
[7] Ibid., hal 154.
[8] Ibid., hal 172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar