Dasar-dasar Mazhab Imam
Syafi'i yang telah tertulis dalam kitabnya al-Risalah yang kesimpulannya
sebagai berikut: Al-Quran, Hadits Nabi, Ijma', Qiyas, Istidlal. [1]
Lebih lanjut Imam Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i
mendasarkan madzhabnya seperti dijelaskan pada kitab Al-Umm, dalam istinbath hukum beliau
mempergunakan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sepanjang tidak ditemukan pada dua
sumber hukum tersebut, dalam memutuskan suatu kasus (hukum) dengan menggunakan
qiyas. Menurutnya ijma’ dipandang lebih kuat dari hadis ahad. Terhadap suatu
hadis, dia menerima makna lahirnya saja. Jikalau ada beberapa hadis yang
bermakna ganda, beliau mengambil makna dhahirnya saja.
Mohammad Muslehuddin menyatakan
Syafi’i kelihatannya membentuk teori praktek yang diikuti oleh para khalifah
empat dan memang, itulah tata cara yang benar. Jika tidak demikian, kesatuan
hukum dan akhirnya kesatuan masyarakat akan terganggu seandainya analogi
dibiarkan bergantung pada penggunaan akal pikiran secara bebas. Pada prinsipnya, Syafi’i hanya mengakui qiyas yang sempurna, tetapi
beliau tidak menolak qiyas yang logis (ta’wil), yang didasarkan pada
petunjuk yang jelas dari nash (Al-Qur'an atau sunnah) sendiri atau dari
konteksnya.[2]
Lebih lanjut Imam Syafi’i mempunyai pendapat tentang
setiap hadis yang diriwayatkan sampai kepada Nabi oleh orang-orang yang
terpercaya, hanya dapat ditolak jika ia bertentangan dengan hadis lain yang
juga diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya. [3]
Pandangan Imam Syafi’i tentang ijma’ (konsensus), ia
tidak mendefinisikannya sebagai kesepakatan antara para ahli hukum di suatu
daerah atau kota ,
tetapi ia memperluas pengertiannya menjadi kesepakatan seluruh masyarakat., dan
ini mungkin untuk tujuan untuk mencapai keseragaman hukum. Adapun menyangkut
qiyas (analogi), beliau membatasi penggunaannya hanya terdapat masalah-masalah
cabang (furu’).[4]
Imam Syafi'i yang telah menciptakan produk madzhab
yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Dimana qaul qadim
adalah hasil ijtihad yang diajarkan kepada murid-muridnya ketika berada
di Irak. Sedangkan qaul jadid, adalah hasil ijtihad yang beliau
tetapkan ketika berada di Mesir. [5]
Hamdani Yusuf menjelaskan dasar-dasar
istinbath hukum yang dipergunakan oleh mazhab Syafi’i menurut adalah sebagai
berikut [6]:
1.
Al-Qur'an
Madzhab ini mengambil makna yang dhahir (lahir),
kecuali bila ada alasan mengambil arti yang lain (untuk yang terakhir ini
jarang sekali dilakukan).
2.
As-Sunnah
Dalam hal pengambilan hadis, tidak hanya mengambil
hadis mutawatir saja, namun hadist Ahad juga diambil/dipakai sebagai dalil.
Diantara pengikut Syafi’i (yang tergabung dalam golongan salaf) menggunakan
hadis dha’if sebagai referensi untuk fadhailul a’mal (fadhilah amal).
Dengan ketegasannya Imam Syafi’i menjelaskan dalam
sebuah ungkapan statement sebagai berikut :
أِذَا صَحَّ
الْحَدِيْثُ فَهُو مَذْهَبِىْ
“Bilamana telah sah suatu hadis, maka itulah
mazhabku”.
3.
Ijma’
Menurut madzhab ini ijma’ dari sahabat, dan bilamana
ada seorang yang menyalahinya belum diartikan sebagai ijma’. Juga tidak sembarang ijma’ bisa dijadikan
sebagai pijakan/dasar hukum.
4.
Pendapat
Sebagian Sahabat
Madzhab ini mengakui pendapat sebagian sahabat sebagai
dasar pengambilan hukum, akan tetapi tidak semua pendapat sahabat dapat
dijadikan sebagai landasan hukum. Jikalau ada sahabat lain yang menentang, maka
pendapat sahabat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
5.
Pendapat
Seorang Sahabat
Pendapat seorang sahabat, tetapi ada sahabat lain yang
tidak menyetujuinya, dalam hal ini madzhab ini mengambil pendapat yang paling
dekat dengan Al-Qur'an dan Sunnah atau pendapat yang dikuatkan dengan qiyas.
6.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa
Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama,
bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang
lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari
persamaan-persamaannya
7.
Istidlal
Yakni mencari dalil yang tidak ada pada nash Al-Qur’an
dan Sunnah, tidak ada pada ijma’ maupun pada qiyas. Definisi diatas menunjukkan
bahwa seorang mujtahid dalam memutuskan suatu keputusan hukum, hendaklah
mendahululan Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Jika mujtahid tersebut
tidak menemukan keempat sumber hukum tersebut barulah beralih ke istidlal
(mencari dalil lain).
8.
Fatwa shahabi
Berkenaan dengan fatwa sahabat, sebagian golongan
Syafi’iyah menggunakannya sebagai dasar hukum. Fatwa sahabi adalah fatwa atau
pendapat sahabat Nabi Saw. dalam menentukan kehujjahan atau kekuatan mazhab
sahabi sebagai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa sahabat
tersebut. Dalam hal ini, permasalahan yang dibahas dalam Ushul Fiqh dalam
kaitan ini adalah, apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid
setelah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak.
9.
Istishab
Ulama Syafi’iyah mengamalkan istishab dalam
metode pengambilan hukum. [8]
Istishab adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan status hukum yang berlaku
sebelumnya, selama tidak ada hukum yang merubahnya. Contoh istishab adalah
seorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudlu atau belum, dalam hal ini ia
harus berpedoman pada hukum asal, yaitu “belum berwudlu”. Lalu apabila
seseorang yang sudah berwudlu kemudian ragu-ragu apakah batal atau tidak, maka
ia hendaklah berpedoman pada hukum yang awal yaitu “ada wudlu” (masih punya
wudlu).
[3] Ibid., hal. 30.
[4] Ibid., hal. 31.
[5]T.M. Hashbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hal. 122.
[6] M. Hamdani Yusuf, Op. Cit., hal 170.
[7] Ibid., hal 154.
[8] Ibid., hal 172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar