Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan
merupakan masalah baru. Ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala
diantara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Dengan tibanya Islam, poligami yang tak
terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada suatu saat, dengan persyaratan
khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya. [1]
Adapun syarat minimal yang harus ada dalam pelaksanaan
poligami adalah : 1) adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri, adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka (pasal 5 ayat 1). [2]
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku
sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang
suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri. Poligami adalah seorang
laki-laki yang beristri lebih dari satu dan dibatasi hanya empat orang istri saja. Landasan poligami yaitu surat An-Nisa ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4
y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ﴿النساء
: 3
﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)[3]
Bahwa Ulama Syafi’iyah (pengikut madzhab Syafi’i)
merupakan para ulama pengikut Madzhab
Syafi’i. Dimana madzhab ini didirikan
oleh tokoh besar sebagai ulama fiqh kenamaan yang bernama lengkap Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi, yang dikenal dengan nama simpel Imam Syafi’i.
Menurut Ahmad Rofiq, ketentuan ayat 3
QS. An-Nisa’ merupakan syarat utama yang sekaligus merupakan kewajiban suami
terhadap isteri-isteri atau isteri-isterinya adalah jaminan keadilan, dari
nafkah-nafkah sehari-hari, tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya. Keadilan
suami terhadap isteri-isterinya merupakan kewajiban yang harus diperhatikan. Hal ini disyaratkan dalam sabda yang diriwayatkan Abu Hurairah yang
menyampaikan ultimatum [4]:
مَنْ كَانَتْ
لَهُ امْرَاَتَانِ فَمَالَ اِلَى اِحْدَاهُمَا دُوْنَ اْلاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَشِقُّهُ مَائِلٌ ﴿رواه احمد والاربعة وسنده صحيح﴾
“Barangsiapa seorang (suami)
mempunyai dua orang isteri, kemudian ia cenderung kepada salah satunya, tetapi
tidak kepada yang lain, maka ia datang di hari kiamat separuh badannya menceng”
(HR. Ahmad, dan Imam Empat, dengan sanad yang sahih)
Imam Syafi’i menegaskan pada kasus
poligami ini beliau mencoba mentransformasikan hadis dalam praktik Nabi
Muhammad SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Kemudian pada kasus poligami ini, Nabi sedang mengejawantahkan QS. An-Nisa ayat 2-3 mengenai
perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakar ra. [6]
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakar ra. [6]
Sayid Sabiq, memaparkan Imam Syafi’i
berkata bahwa masalah poligami telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai
penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah SAW tidak ada seorang pun
yang dibenarkan kawin lebih dari empat perempuan. [7]
Seperti dijelaskan dalam kitab Al-Umm,
Imam Syafi’i menyatakan turunnya ayat tentang pembolehan poligami ini adalah sesuai
dengan firman Allah SWT (QS. An-Nisa’ : 3) : “Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga dan empat”. Pada saat
ayat ini diturunkan, masyarakat Arab memiliki isteri yang tidak dapat dihitung
dengan jari dan budak-budak wanita yang tidak terbatas jumlahnya. Dengan
turunnya ayat ini, Al-Qur’an melarang seluruh umat Islam untuk menikah lebih
dari empat orang (kekhususan hanya diberikan kepada Rasulullah SAW). [8]
Lebih lanjut Imam Syafi’i juga memberikan saran, apabila tidak bisa
berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli
Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih
dari empat maka hukumnya haram. Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap
batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang
empat itu dan telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri
empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan
oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain
Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat
perempuan. Sedangkan pada ayat dzalika ‘adna an la ta ‘ulu dipahami oleh
Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ‘ala
ya‘ulu yang berarti “menanggung dan membelanjai”. [9]
Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini,
menegaskan juga bahwasannya seorang laki-laki boleh melaksanakan poligami.
Poligami yang disyaratkan ini adalah kebolehan laki-laki hanya menikahi
perempuan tidak lebih dari 4 orang perempuan (istri). Peristiwa ini pernah
terjadi pada masa Rasulullah SAW., dimana Ghilan masuk Islam, ia mempunyai 10
orang istri. Lalu Nabi SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang empat orang
dan ceraikan yang lain“. Peristiwa juga pernah terjadi ketika Naufal bin
Muawiyah masuk Islam, ia mempunyai 5 orang isteri, Nabi SAW. bersabda
kepadanya: “Pilihlah yang empat orang dan ceraikan yang lain“.[10]
Penganut madzhab Syafi’i mensyaratkan mampu memberi nafkah bagi orang yang akan berpoligami.
Persyaratan ini berdasarkan pemahaman Imam Syafi’i terhadap teks Al-Qur`an, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “Ahkam Al-Qur’an”, Imam Baihaqi juga mendasarkan
keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman
madzhab Syafi`i jaminan yang
mensyaratkan
kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu memberi nafkah bukan syarat putusan hukum.
kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu memberi nafkah bukan syarat putusan hukum.
Dengan demikian, penulis dapat
menggarisbawahi apa yang disampaikan madzhab Syafi’i tentang poligami, bisa
disimpulkan bahwa poligami adalah rukhsah (keringanan), bukan tujuan
utama dan bukan pula anjuran. Justru poligami adalah sebuah batasan. Dalam
Al-Qur’an sendiri tidak ada seruan untuk melakukan poligami, kecuali dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.
[2]Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] R. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, (Semarang: Toha Putra, 1996),
hal.
[7] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, Juz VI, 1990), cet. 7, hal. 149.
[10] Imam Taqiyuddin Abi Bakr
al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, t.t.), Jilid II,
hal. 38.
setuju..
BalasHapus