Minggu, 20 Januari 2013

Poligami menurut Madzhab Syafi'i

Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan merupakan masalah baru. Ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Dengan tibanya Islam, poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada suatu saat, dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya. [1]
Adapun syarat minimal yang harus ada dalam pelaksanaan poligami adalah : 1) adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka (pasal 5 ayat 1). [2]
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri. Poligami adalah seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu dan dibatasi hanya empat orang istri saja. Landasan poligami yaitu surat An-Nisa ayat 3.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ﴿النساء : 3
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)[3]

Bahwa  Ulama Syafi’iyah (pengikut madzhab Syafi’i) merupakan para ulama pengikut Madzhab Syafi’i. Dimana madzhab ini didirikan oleh tokoh besar sebagai ulama fiqh kenamaan yang bernama lengkap Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi, yang dikenal dengan nama simpel Imam Syafi’i.
Menurut Ahmad Rofiq, ketentuan ayat 3 QS. An-Nisa’ merupakan syarat utama yang sekaligus merupakan kewajiban suami terhadap isteri-isteri atau isteri-isterinya adalah jaminan keadilan, dari nafkah-nafkah sehari-hari, tempat kediaman, dan kebutuhan lainnya. Keadilan suami terhadap isteri-isterinya merupakan kewajiban yang harus diperhatikan. Hal ini disyaratkan dalam sabda yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menyampaikan ultimatum [4]:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَاَتَانِ فَمَالَ اِلَى اِحْدَاهُمَا دُوْنَ اْلاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ ﴿رواه احمد والاربعة وسنده صحيح﴾
“Barangsiapa seorang (suami) mempunyai dua orang isteri, kemudian ia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang lain, maka ia datang di hari kiamat separuh badannya menceng” (HR. Ahmad, dan Imam Empat, dengan sanad yang sahih)

Imam Syafi’i menegaskan pada kasus poligami ini beliau mencoba mentransformasikan hadis dalam praktik Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Kemudian pada kasus poligami ini, Nabi sedang mengejawantahkan QS. An-Nisa ayat 2-3 mengenai perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami'
al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn
al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi
adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika
lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa
dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan
Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti
Abu Bakar ra. [6]
Sayid Sabiq, memaparkan Imam Syafi’i berkata bahwa masalah poligami telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah SAW tidak ada seorang pun yang dibenarkan kawin lebih dari empat perempuan. [7]
Seperti dijelaskan dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menyatakan turunnya ayat tentang pembolehan poligami ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT (QS. An-Nisa : 3) : “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga dan empat”. Pada saat ayat ini diturunkan, masyarakat Arab memiliki isteri yang tidak dapat dihitung dengan jari dan budak-budak wanita yang tidak terbatas jumlahnya. Dengan turunnya ayat ini, Al-Qur’an melarang seluruh umat Islam untuk menikah lebih dari empat orang (kekhususan hanya diberikan kepada Rasulullah SAW). [8]
Lebih lanjut Imam Syafi’i juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat maka hukumnya haram. Dan perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang empat itu dan telah habis pula masa iddah-nya. Dalam masalah membatasi istri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan. Sedangkan pada ayat dzalika ‘adna an la ta ‘ulu dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ‘ala ya‘ulu yang berarti “menanggung dan membelanjai”. [9]
Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, menegaskan juga bahwasannya seorang laki-laki boleh melaksanakan poligami. Poligami yang disyaratkan ini adalah kebolehan laki-laki hanya menikahi perempuan tidak lebih dari 4 orang perempuan (istri). Peristiwa ini pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW., dimana Ghilan masuk Islam, ia mempunyai 10 orang istri. Lalu Nabi SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang empat orang dan ceraikan yang lain“. Peristiwa juga pernah terjadi ketika Naufal bin Muawiyah masuk Islam, ia mempunyai 5 orang isteri, Nabi SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang empat orang dan ceraikan yang lain“.[10]
Penganut madzhab Syafi’i mensyaratkan mampu memberi nafkah bagi orang yang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman Imam Syafi’i terhadap teks Al-Qur`an, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “Ahkam Al-Qur’an”, Imam Baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab Syafi`i jaminan yang mensyaratkan
kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member
i nafkah bukan syarat putusan hukum.
Dengan demikian, penulis dapat menggarisbawahi apa yang disampaikan madzhab Syafi’i tentang poligami, bisa disimpulkan bahwa poligami adalah rukhsah (keringanan), bukan tujuan utama dan bukan pula anjuran. Justru poligami adalah sebuah batasan. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada seruan untuk melakukan poligami, kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.



[1]Abdul Rahman I. Doi., Loc. Cit..
[2]Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
[3] R. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, (Semarang: Toha Putra, 1996), hal.
[4] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 194.
[5] Al-San’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, 1960), hal. 162.
[6] Wahyu, “Poligami menurut Islam”, http://www.wahyuliblog-.html.
[7] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib (Bandung: PT. Al-Ma’arif, Juz VI, 1990), cet. 7, hal. 149.
[8] Muhammad Jawwad Mughniyah, Op. Cit., hal. 335.
[9] “Polygami menurut Imam Madzhab”, http://www.polygamy-menurut-empat-mazhab.html.
[10] Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t.), Jilid II, hal. 38.

1 komentar: