Minggu, 20 Januari 2013

Sekilas tentang Madzhab Syafi'i

-->
Ada sebagian anggapan komunitas umat Islam tidak perlu memegangi salah satu madzhab yang ada dalam menghadapi berbagai persoalan fiqh yang terjadi. Akan tetapi mayoritas umat (baca: Islam) memberi legitimasi bahwa seharusnya tetap menggunakan salah satu mazdhab yang memang sebagai produk usaha hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama fiqh masa lalu.
Sehubungan dengan hal di atas, makin marak tumbuhnya beberapa madzhab di kalangan umat Islam. namun tidak semua madzhab dapat diterima (acceptable). Hanya ada beberapa yang paling masyhur (familiar) di kalangan umat (baca : Islam). Mereka dikenal dengan “Imam Madzhab Empat”, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal.[1]
Adalah madzhab Syafi’i sebagai salah satu madzhab besar yang sudah populer dan familiar dalam lapangan fiqh. Madzhab ini didirikan oleh ulama fiqh terkenal yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah pada Tahun 150 H bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. [2]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas. Sebaiknya, beliau bahkan lebih giat dan getol dalam mempelajari hadis dari ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Mekah. Pada usianya yang kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur'an. [3]
Imam Syafi'i adalah orang pertama yang diyakini sebagai pengkodifikasi pembahasan dan kaidah ilmu ushul fiqh dalam suatu kitab yang sangat berharga dan dapat dikaji oleh generasi sekarang. Karyanya yang kemudian dituturkan kembali oleh muridnya -Ar-Rabi Al-Muradi- adalah Ar-Risalah. [4]
Beliaulah arsitek utama yurisprudensi Islam dan teori-teori beliau dikenal karena moderasi pandangan dan keseimbangan penilaiannya. Karya monumental Ar-Risalah adalah sebuah karya yang menunjukkan wawasan beliau yang jelas dan penguasaan beliau yang luas dalam ilmu hukum, yang memungkinkan pernyataan beliau menjadi kata akhir dalam persoalan hukum. Beliau membawa teknik pemikiran hukum “kesatu  tingkat kemahiran dan keahlian yang belum pernah dicapai sebelumnya dan hampir-hampir tak bisa disamai dan tidak pernah dilampaui sesudahnya” [5].

Kaitannya dengan madzhab Syafi'i, kepopuleran madzhab ini adalah berkat para pengikutnya. Merekalah orang-orang (ulama) yang menyebarluaskan madzhab ini sehingga banyak dikenal dan dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat Islam.
Madzhab Syafi'i ini pula telah diamalkan sekaligus telah dijadikan sebagai pijakan madzhab oleh umat Islam di beberapa belahan dunia. Diantaranya Maroko, Tunisia, Libia, Aljazair, Turki, Libanon, Afghanistan, Indonesia, Malaysia dan Negara Asia Pasifik.
Para ahli kebanyakan mempunyai statement bahwa jika Abu Hanifah terkenal dengan madzhab rasional (ahlul ra’y), Imam Malik lebih dikenal dengan madzhab tradisional (ahlul hadits). Sedangkan madzhab Ahmad ibn Hanbal dikenal dengan madzhab fundamentalis. Adapun madzhab Syafi'i, oleh banyak kalangan menyebutnya sebagai madzhab kaum moderat. Sebagai jawabnya adalah dapat ditilik pada uraian berikut.
Jika kita coba melacak dibalik usaha Imam Syafi'i dalam melakukan kompromi fiqh ahlul hadits antara fiqh ahlul ra’y, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zaman amat mempengaruhi Imam Syafi'i dalam membentuk fikiran dan madzhab fiqhnya. Sejarah hidupnya menunjukkan dia amat dipengaruhi oleh masyarakat di sekelilingnya. [6]
Mula-mula Imam  Syafi'i hidup di tengah-tengah masyarakat Makkah, lalu Madinah. Keduanya berada di Hijaz, bumi sunnah dan hadits, dengan tatanan  kehidupan sosial yang sederhana. Hingga relatif tidak banyak timbul persoalan kemasyarakatan. Dan cara pengambilan langsung dari teks Al-Qur'an serta sunnah tidak memadai untuk menyelesaikannya. Maka wajar sekali jika Imam Syafi'i lalu cenderung kepada aliran hadits, bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Malik. Tetapi sesudah berkelana ke Baghdad (Irak) dan menetap di sana (beberapa tahun) lalu mempelajari fiqh Abu Hanifah dan madzhab ahlul ra’y (rasional), maka mulailah ia condong kepada aliran rasional. Apabila setelah dia menyaksikan sendiri bahwa tingginya tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah hidup berikut keruwetannya yang para ahli fiqh seringkali tidak menemukan ketegasan jawaban dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Keadaan ini lalu mendorong mereka untuk melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. [7]
Meski Imam Syafi'i bersifat kooperatif terhadap kedua Imam madzhab di atas, namun tidak segan-segan ia melakukan kritik dan sanggahan kepada mereka. Mula-mula ia berbeda pendapat dengan gurunya. Perbedaan ini hingga sedemikian rupa, sehingga ia menulis buku “Khilaf Malik“ (sanggahan terhadap Malik), yang sebagian besar isinya adalah kritik terhadap fiqh madzhab gurunya itu. Ia juga banyak melontarkan kritik/koreksi kepada madzhab Abu Hanifah. Bertolak dari kritik Imam Syafi'i terhadap kedua madzhab itu, akhirnya muncul madzhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahlul hadis ahlul ra’y, yang benar-benar orisinil. Namun demikian, yang paling menentukan orisinilitas madzhab Syafi'i itu adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. [8]
Sebagaimana dikatakan, bahwa fiqh Syafi'i merupakan fiqh yang terlahir karena pengaruh kondisi masyarakatnya, terutama masyarakat Mesir. Dengan demikian, ia merupakan refleksi zamannya. Imam Syafi'i hidup pada masa Abu Abbasiyah, yang pada saat itu khalifah memberikan dukungan pada kemajuan dan ulama untuk tetap meningkatkan kreativitas serta potensi yang dimilikinya. Maka lengkaplah sudah jika Imam Syafi'i mendapat “angin segar” untuk mengembangkan ilmu serta kemampuan yang dimilikinya.
Oleh karena alasan-alasan di atas, menjadikan madzhab Syafi'i merupakan formulasi madzhab baru, yang merupakan sintesa antara fiqh ahlul hadits dengan fiqh ahlul ra’y. di satu sisi ia sependapat dengan Imam Malik dalam hal mengambil Al-Qur'an sebagai dasar pertama, sedangkan sebagai penjelas Al-Qur'an ia mengambil sunnah sebagai dasar kedua setelah Al-Qur'an. Bahkan ia menyatakan seperti dikutip oleh Al-hakim dan Baihaqi, “Bahwasannya setiap hadits yang shahih adalah madzhabku”. [9]
Imam Syafi'i merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra'yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi'i menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi'i yaitu : Mutharaf Ibn Mazim, Hisyam Ibn Yusuf,    'Umar Ibn Abi Salamah,  Yahya Ibn Hasan.
Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi'i belajar kepada beberapa ulama antara lain:  Sufyan Ibn 'Uyainah,  Muslim Ibn Khalid al-Zauji, Sa'id Ibn Salim al-Kaddah,  Daud Ibn 'Abdurrahman al-'Aththar,  'Abdul Hamid 'Abdul aziz Ibn Muhammad ad-Dahrawardi,    Ibrahim Ibn Abi Sa'id Ibn Abi Fudaik,    'Abdullah Ibn Nafi'.
Diantara pengikut-pengikut madzhab Syafi'i (yang lebih dikenal dengan ulama Syafi’iyah) adalah Ahmad ibn Hanbal, Al-Kilby, Al-Za’farany, Al-Karabisty, Daud ibn Ali, Abu Utsman al-Anmathy, Abu Abbas ibn Umar bin Syuraij, Al-Tabrany, Al-Thabary, Al-Muzani, dan sebagainya. [10]
Adapun kitab-kitab yang familiar dan populer yang merupakan produk madzhab Syafi'i adalah  Al-Mukhtasyar al-Kabir, Al-Mukhtasyar al-Shaghir, Al-Fara’id karangan Al-Buwaithy, Al-Jami’ul Kabir, Al-Jami’ul al-Shaghir karangan Al-Muzani, Al-Mabsuth, Al-Mukhtasyar karangan Harmalah al-Mishry. [11]   Disamping kitab tersebut, ada beberapa kitab kaidah fikim Imam Syafi’i, diantaranya Qawā'id al-ahkam fī Maşālih al-Anam karya Ibnu 'Abdulsalam (wafat 660 H),      Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu Wakil (wafat 716 H),     Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Taj al-Din al-Subki (wafat 771 H),     Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu al-Mulaqqin (wafat 804 H) serta    Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 91 H).

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar