Sehubungan dengan hal di atas, makin marak tumbuhnya
beberapa madzhab di kalangan umat Islam. namun tidak semua madzhab dapat
diterima (acceptable). Hanya ada beberapa yang paling masyhur (familiar)
di kalangan umat (baca : Islam). Mereka dikenal dengan “Imam Madzhab
Empat”, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal.[1]
Adalah madzhab Syafi’i sebagai salah satu madzhab
besar yang sudah populer dan familiar dalam lapangan fiqh. Madzhab ini
didirikan oleh ulama fiqh terkenal yang nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Idris Asy-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah pada Tahun 150 H bertepatan
dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. [2]
Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam suatu
keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi
malas. Sebaiknya, beliau bahkan lebih giat dan getol dalam mempelajari hadis
dari ulama-ulama hadis yang banyak terdapat di Mekah. Pada usianya yang kecil,
beliau juga telah hafal Al-Qur'an. [3]
Imam Syafi'i adalah orang pertama yang diyakini
sebagai pengkodifikasi pembahasan dan kaidah ilmu ushul fiqh dalam suatu
kitab yang sangat berharga dan dapat dikaji oleh generasi sekarang. Karyanya
yang kemudian dituturkan kembali oleh muridnya -Ar-Rabi Al-Muradi- adalah Ar-Risalah. [4]
Beliaulah arsitek utama yurisprudensi Islam dan
teori-teori beliau dikenal karena moderasi pandangan dan keseimbangan
penilaiannya. Karya monumental Ar-Risalah adalah sebuah karya yang
menunjukkan wawasan beliau yang jelas dan penguasaan beliau yang luas dalam
ilmu hukum, yang memungkinkan pernyataan beliau menjadi kata akhir dalam
persoalan hukum. Beliau membawa teknik pemikiran hukum “kesatu tingkat kemahiran dan keahlian yang belum
pernah dicapai sebelumnya dan hampir-hampir tak bisa disamai dan tidak pernah
dilampaui sesudahnya” [5].
Kaitannya dengan madzhab Syafi'i, kepopuleran madzhab
ini adalah berkat para pengikutnya. Merekalah orang-orang (ulama) yang
menyebarluaskan madzhab ini sehingga banyak dikenal dan dipraktekkan oleh
mayoritas masyarakat Islam.
Madzhab Syafi'i ini pula telah diamalkan sekaligus
telah dijadikan sebagai pijakan madzhab oleh umat Islam di beberapa belahan
dunia. Diantaranya Maroko , Tunisia , Libia, Aljazair, Turki, Libanon , Afghanistan ,
Indonesia , Malaysia dan Negara Asia Pasifik.
Jika kita coba melacak dibalik usaha Imam Syafi'i
dalam melakukan kompromi fiqh ahlul hadits antara fiqh ahlul
ra’y, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan sosial masyarakat
dan keadaan zaman amat mempengaruhi Imam Syafi'i dalam membentuk fikiran dan
madzhab fiqhnya. Sejarah hidupnya menunjukkan dia amat dipengaruhi oleh
masyarakat di sekelilingnya. [6]
Mula-mula Imam
Syafi'i hidup di tengah-tengah masyarakat Makkah, lalu Madinah. Keduanya
berada di Hijaz, bumi sunnah dan hadits, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana. Hingga
relatif tidak banyak timbul persoalan kemasyarakatan. Dan cara pengambilan
langsung dari teks Al-Qur'an serta sunnah tidak memadai untuk menyelesaikannya.
Maka wajar sekali jika Imam Syafi'i lalu cenderung kepada aliran hadits, bahkan
mengaku sebagai pengikut madzhab Malik. Tetapi sesudah berkelana ke Baghdad (Irak) dan menetap di sana (beberapa tahun) lalu mempelajari fiqh
Abu Hanifah dan madzhab ahlul ra’y (rasional), maka mulailah ia condong
kepada aliran rasional. Apabila setelah dia menyaksikan sendiri bahwa tingginya
tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam
masalah hidup berikut keruwetannya yang para ahli fiqh seringkali tidak
menemukan ketegasan jawaban dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Keadaan ini lalu
mendorong mereka untuk melakukan ijtihad dan menggunakan rasio. [7]
Meski Imam Syafi'i bersifat kooperatif terhadap kedua
Imam madzhab di atas, namun tidak segan-segan ia melakukan kritik dan sanggahan
kepada mereka. Mula-mula ia berbeda pendapat dengan gurunya. Perbedaan ini
hingga sedemikian rupa, sehingga ia menulis buku “Khilaf Malik“
(sanggahan terhadap Malik), yang sebagian besar isinya adalah kritik terhadap
fiqh madzhab gurunya itu. Ia juga banyak melontarkan kritik/koreksi kepada
madzhab Abu Hanifah. Bertolak dari kritik Imam Syafi'i terhadap kedua madzhab
itu, akhirnya muncul madzhab baru yang merupakan sintesa antara fiqh ahlul
hadis ahlul ra’y, yang benar-benar orisinil. Namun demikian, yang paling menentukan
orisinilitas madzhab Syafi'i itu adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. [8]
Sebagaimana dikatakan, bahwa fiqh Syafi'i merupakan
fiqh yang terlahir karena pengaruh kondisi masyarakatnya, terutama masyarakat
Mesir. Dengan demikian, ia merupakan refleksi zamannya. Imam Syafi'i hidup pada
masa Abu Abbasiyah, yang pada saat itu khalifah memberikan dukungan pada
kemajuan dan ulama untuk tetap meningkatkan kreativitas serta potensi yang
dimilikinya. Maka lengkaplah sudah jika Imam Syafi'i mendapat “angin segar”
untuk mengembangkan ilmu serta kemampuan yang dimilikinya.
Oleh karena alasan-alasan di atas, menjadikan madzhab
Syafi'i merupakan formulasi madzhab baru, yang merupakan sintesa antara fiqh
ahlul hadits dengan fiqh ahlul ra’y. di satu sisi ia sependapat
dengan Imam Malik dalam hal mengambil Al-Qur'an sebagai dasar pertama,
sedangkan sebagai penjelas Al-Qur'an ia mengambil sunnah sebagai dasar kedua
setelah Al-Qur'an. Bahkan ia menyatakan seperti dikutip oleh Al-hakim dan
Baihaqi, “Bahwasannya setiap hadits yang shahih adalah madzhabku”. [9]
Imam Syafi'i
merupakan ulama sintesis yang beraliran antara ahl ra'yu dan ahl hadis (Kufah dan Madinah), di Kufah Imam Syafi'i
menimba ilmu kepada Muhammad Ibn al-Hasan al Syaibani yang merupakan murid
sekaligus sahabat dari Imam Hanafi. Sedangkan di Madinah, beliau belajar kepada
Imam Malik, beliau (Imam Malik) dikenal dengan sebutan ahl Hadis. Selain itu,
beliau juga berguru kepada ulama-ulama di Yaman, Mekah dan Madinah. Adapun
ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi'i yaitu : Mutharaf Ibn Mazim, Hisyam
Ibn Yusuf, 'Umar Ibn Abi Salamah, Yahya Ibn Hasan.
Adapun
selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi'i belajar kepada beberapa ulama antara
lain: Sufyan
Ibn 'Uyainah, Muslim Ibn Khalid al-Zauji,
Sa'id Ibn Salim al-Kaddah, Daud Ibn 'Abdurrahman al-'Aththar, 'Abdul Hamid 'Abdul aziz
Ibn Muhammad ad-Dahrawardi, Ibrahim Ibn Abi Sa'id Ibn Abi Fudaik,
'Abdullah Ibn
Nafi'.
Diantara pengikut-pengikut madzhab
Syafi'i (yang lebih dikenal dengan ulama Syafi’iyah) adalah Ahmad ibn Hanbal,
Al-Kilby, Al-Za’farany, Al-Karabisty, Daud ibn Ali, Abu Utsman al-Anmathy, Abu
Abbas ibn Umar bin Syuraij, Al-Tabrany, Al-Thabary, Al-Muzani, dan sebagainya. [10]
Adapun kitab-kitab yang familiar dan
populer yang merupakan produk madzhab Syafi'i adalah Al-Mukhtasyar al-Kabir, Al-Mukhtasyar
al-Shaghir, Al-Fara’id karangan Al-Buwaithy, Al-Jami’ul Kabir,
Al-Jami’ul al-Shaghir karangan Al-Muzani, Al-Mabsuth, Al-Mukhtasyar
karangan Harmalah al-Mishry. [11] Disamping kitab tersebut,
ada beberapa kitab kaidah fikim Imam Syafi’i, diantaranya Qawā'id al-ahkam
fī Maşālih al-Anam karya Ibnu 'Abdulsalam (wafat 660 H),
Al-Asybah
wa al-Nazā'ir karya Ibnu Wakil (wafat 716 H), Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Taj al-Din al-Subki
(wafat 771 H), Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Ibnu al-Mulaqqin
(wafat 804 H) serta Al-Asybah wa al-Nazā'ir karya Jalaluddin
as-Suyuthi (wafat 91 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar