Minggu, 20 Januari 2013

Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Islam

-->
Lembaga perkawinan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya, tentu tidak akan terlepas dari seperangkat aturan atau tatanan yang melekat di dalamnya. Sehingga lembaga perkawinan ini tidak bersifat serampangan, tanpa arah dan tujuan yang pasti. Oleh karena itu, Syari’ membuat peraturan dalam rangka mewujudkan berlangsungnya kehidupan perkawinan yang langgeng, tentram dan sejahtera. Dengan demikian tujuan perkawinan yang hakiki terlaksana dengan seoptimal mungkin.
Suatu perkawinan harus memenuhi beberapa persyaratan dan unsur (rukun) pokok yang telah digariskan oleh Syari’ (pembuat undang-undang). Ini didasari atas alasan agar perkawinan mendapat legalisasi yang jelas, sehingga nantinya suami dapat menjalani kehidupan perkawinan dengan tenag tanpa mendapat intervensi dari siapapun juga.
Kaitannya dengan syarat perkawinan, ia melekat pada rukun perkawinan itu sendiri. Dengan diketahuinya rukun perkawinan tersebut, maka secara otomatis dengan sendirinya akan diketahui pula syarat-syarat dari perkawinan tersebut.
Sehubungan dengan persyaratan dalam perkawinan, Imam Taqiyuddin mensyaratkan terjadinya hubungan perkawinan, diantaranya adalah :
يُشْتَرِطُ فِىْ صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُوْرُ اَرْبَعَةٌ: وَلِىٌّ وَزَوْجٌ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ
“Disyaratkan bagi sahnya suatu akad perkawinan adalah hadirnya empat unsur: wali, calon mempelai dan dua orang saksi adil”.

Mengenai rukun perkawinan, dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Pasal 14 disebutkan lima (5) macam, diantarnya ialah : (1) Calon suami; (2) Calon istri; (3) Wali nikah; (4) Dua orang saksi, dan (5) Ijab dan qabul.[2] Adapun masing-masing rukun dapat diperinci sebagai berikut : 
1.      Calon Suami dan Istri
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai (suami dan istri), diantaranya adalah :
a.       Islam, terdapat persyaratan bagi suami dalam perkawinan. Hal sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi :
وَشَرْطُ فِيْهِ اَنْ يَكُوْنَ مُسْلِمًا إِذَا كَانَتْ مُسْلِمَةً فَإِنْ كَانَ كَافِراً وَالزَّوْجَةُ مُسْلِمَةً بَطَلٌ
Disyaratkan bagi suami adalah seorang muslim, jika istrinya adalah seorang muslimah. Dan jika suaminya adalah kafir, sedang istrinya muslimah, maka menjadi batal (perkawinan itu)”.

Pendapat diatas didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang
berbunyi :
....Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts £`çlm;  ....﴿الممتحنة : 10﴾

“….. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang fakir itu tiada halal pula bagi mereka …..” (QS. Al-Mumtahanah : 10) [4]
Adapun mengenai calon istri, terdapat perbedaan pendapat mengenai persyaratan “Islam”. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab (wanita Kitabiyah). Ini didasarkan atas firman Allah SWT. dalam Surat Al-Ma’idah ayat 5 yang berbunyi :
....àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% ﴿المائدة : 5﴾
Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu ….”. (QS. Al-Ma’idah : 5)[5]

Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Ma’idah ayat 5 di atas, juga didasarkan sunnah Nabi, dimana Nabi pernah kawin dengan wanita ahlul kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (pemeluk Kristen). Demikian pula seorang sahabat Nabi (termasuk senior) bernama Hudzaifah ibn al-Yaman pernah kawin dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. [6]
Namun demikian menurut Rasyid Ridla seperti dikutip oleh Masjfuk Zuhdi, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab, karena pada hakikatnya Doktrin dan praktek ibadah Kristen Yahudi itu

mengandung unsur syirik yang cukup jelas. Misalnya ajaran Trinitas dan pengkultusan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, serta kepercayaan Uzair putra Allah dan pengkultusan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi. [7]
b.      Baligh, kedua calon mempelai disyaratkan telah aqil baligh. Mengenai Standarisasi batas umur dalam perkawinan, sebagaimana ditegaskan oleh KHI Pasal 15 (1) adalah : “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”. [8]
c.       Berakal. Begitupun calon mempelai suami dan istri harus memenuhi syarat matang dan sehat akal pikirannya. Karena jika tidak memenuhi persyaratan ini dikhawatirkan menjadikannya tidak mampu membedakan antara hak dan kewajiban dalam perkawinan. Dengan demikian, bagi calon yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dapat dikenakan padanya beban hukum (taklif). Hal ini didasarkan atas hadis Nabi SAW. :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلِى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الَّصبِىِّ حَتَّى يَكبر ﴿رواه مسلم

“Diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama, dari orang tidur sampai ia bangun; kedua, dari kanak-kanak sampai ia dewasa; dan ketiga dari orang gila sampai ia berakal”. (HR. Muslim)
                    
d.      Yang terpenting dari syarat-syarat ini adalah bahwa kedua calon mempelai itu tidak mempunyai hubungan mahram (yang secara hukum menghalangi dilangsungkannya perkawinan antara keduanya), baik karena pertalian darah (nasab), hubungan semenda (mushaharah) maupun hubungan susuan (radha’ah).



[1] Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, Op. Cit., hal. 51.
[2] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Op. Cit., hal. 18, Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 7.
[3] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hal. 344.
[4] R. Soenarjo, dkk., Op. Cit., hal. 924.
[5] Ibid., hal. 158.

[6] Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, (Jakarta: CV. Masagung, 1993),  hal. 5.
[7] Ibid.

[8] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Op. Cit., hal. 19.
[9] Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuti, Op. Cit., hal. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar