-->
Lembaga perkawinan yang telah
disyari’atkan oleh Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya, tentu tidak akan terlepas
dari seperangkat aturan atau tatanan yang melekat di dalamnya. Sehingga lembaga
perkawinan ini tidak bersifat serampangan, tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Oleh karena itu, Syari’ membuat peraturan dalam rangka mewujudkan
berlangsungnya kehidupan perkawinan yang langgeng, tentram dan sejahtera.
Dengan demikian tujuan perkawinan yang hakiki terlaksana dengan seoptimal
mungkin.
Suatu perkawinan harus memenuhi
beberapa persyaratan dan unsur (rukun) pokok yang telah digariskan oleh Syari’
(pembuat undang-undang). Ini didasari atas alasan agar perkawinan mendapat
legalisasi yang jelas, sehingga nantinya suami dapat menjalani kehidupan
perkawinan dengan tenag tanpa mendapat intervensi dari siapapun juga.
Kaitannya dengan syarat perkawinan,
ia melekat pada rukun perkawinan itu sendiri. Dengan diketahuinya rukun
perkawinan tersebut, maka secara otomatis dengan sendirinya akan diketahui pula
syarat-syarat dari perkawinan tersebut.
Sehubungan dengan persyaratan dalam perkawinan, Imam
Taqiyuddin mensyaratkan terjadinya hubungan perkawinan, diantaranya adalah :
يُشْتَرِطُ
فِىْ صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُوْرُ اَرْبَعَةٌ: وَلِىٌّ وَزَوْجٌ وَشَاهِدَىْ
عَدْلٍ
“Disyaratkan bagi sahnya suatu akad perkawinan adalah hadirnya empat
unsur: wali, calon mempelai dan dua orang saksi adil”.
Mengenai rukun perkawinan, dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Pasal
14 disebutkan lima (5) macam, diantarnya ialah : (1) Calon suami; (2) Calon
istri; (3) Wali nikah; (4) Dua orang saksi, dan (5) Ijab dan qabul.[2]
Adapun masing-masing rukun dapat diperinci sebagai berikut :
1.
Calon
Suami dan Istri
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kedua calon mempelai (suami dan istri), diantaranya adalah :
a.
Islam, terdapat persyaratan bagi suami dalam perkawinan. Hal sebagaimana
diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi :
وَشَرْطُ فِيْهِ
اَنْ يَكُوْنَ مُسْلِمًا إِذَا كَانَتْ مُسْلِمَةً فَإِنْ كَانَ كَافِراً وَالزَّوْجَةُ
مُسْلِمَةً بَطَلٌ
“Disyaratkan
bagi suami adalah seorang muslim, jika istrinya adalah seorang muslimah. Dan
jika suaminya adalah kafir, sedang istrinya muslimah, maka menjadi batal
(perkawinan itu)”.
Pendapat diatas didasarkan pada ayat Al-Qur'an yang
berbunyi :
berbunyi :
....w £`èd
@@Ïm
öNçl°;
wur
öNèd
tbq=Ïts £`çlm;
....﴿الممتحنة
: 10﴾
“….. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang fakir itu tiada halal pula bagi mereka …..” (QS. Al-Mumtahanah : 10) [4]
Adapun mengenai calon istri, terdapat perbedaan pendapat
mengenai persyaratan “Islam”. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa seorang muslim
boleh menikahi wanita Ahlul Kitab (wanita Kitabiyah). Ini
didasarkan atas firman Allah SWT. dalam Surat Al-Ma’idah ayat 5 yang berbunyi :
....àM»oY|ÁósçRùQ$#ur
z`ÏB
ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB
tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$#
`ÏB öNä3Î=ö6s%
﴿المائدة
: 5﴾
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
diantara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum
kamu ….”. (QS. Al-Ma’idah : 5)[5]
kamu ….”. (QS. Al-Ma’idah : 5)[5]
Selain berdasarkan Al-Qur'an Surat Al-Ma’idah ayat 5 di
atas, juga didasarkan sunnah Nabi, dimana Nabi pernah kawin dengan wanita ahlul
kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (pemeluk Kristen). Demikian pula seorang
sahabat Nabi (termasuk senior) bernama Hudzaifah ibn al-Yaman pernah kawin
dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya. [6]
Namun demikian menurut Rasyid Ridla seperti dikutip oleh
Masjfuk Zuhdi, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antara seorang pria
muslim dengan wanita ahlul kitab, karena pada hakikatnya Doktrin dan
praktek ibadah Kristen Yahudi itu
mengandung unsur syirik yang cukup jelas. Misalnya ajaran Trinitas dan pengkultusan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, serta kepercayaan Uzair putra Allah dan pengkultusan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi. [7]
mengandung unsur syirik yang cukup jelas. Misalnya ajaran Trinitas dan pengkultusan Nabi Isa dan ibunya Maryam (Maria) bagi umat Kristen, serta kepercayaan Uzair putra Allah dan pengkultusan Haikal Nabi Sulaiman bagi umat Yahudi. [7]
b.
Baligh, kedua calon mempelai disyaratkan telah aqil baligh.
Mengenai Standarisasi batas umur dalam perkawinan, sebagaimana ditegaskan oleh
KHI Pasal 15 (1) adalah : “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun”. [8]
c.
Berakal. Begitupun calon mempelai suami dan istri harus memenuhi syarat
matang dan sehat akal pikirannya. Karena jika tidak memenuhi persyaratan ini
dikhawatirkan menjadikannya tidak mampu membedakan antara hak dan kewajiban
dalam perkawinan. Dengan demikian, bagi calon yang tidak memenuhi persyaratan
di atas tidak dapat dikenakan padanya beban hukum (taklif). Hal ini
didasarkan atas hadis Nabi SAW. :
رُفِعَ الْقَلَمُ
عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَ عَنِ الْمُبْتَلِى حَتَّى
يَبْرَأَ وَعَنِ الَّصبِىِّ حَتَّى يَكبر ﴿رواه
مسلم﴾
“Diangkatlah pena itu (tidak digunakan untuk mencatat
amal perbuatan manusia) dari tiga orang, pertama, dari orang tidur sampai ia
bangun; kedua, dari kanak-kanak sampai ia dewasa; dan ketiga dari orang gila
sampai ia berakal”. (HR. Muslim)
d.
Yang
terpenting dari syarat-syarat ini adalah bahwa kedua calon mempelai itu tidak
mempunyai hubungan mahram (yang secara hukum menghalangi
dilangsungkannya perkawinan antara keduanya), baik karena pertalian darah (nasab),
hubungan semenda (mushaharah) maupun hubungan susuan (radha’ah).
[1] Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, Op. Cit., hal. 51.
[2] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Op. Cit., hal.
18, Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 7.
[3] Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, Op. Cit., hal. 344.
[4] R. Soenarjo, dkk., Op. Cit., hal. 924.
[7] Ibid.
[8] Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Op. Cit., hal.
19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar